Jangan
Jadi Suami Egois
Sering terbayang di benak pikiran sebagian suami, bahwa
dia tidak sukses di dalam memilih istri ideal yang diidam-idamkannya. Entah
wajah sang istri yang kurang cantiklah. Postur tubuhnya yang kurang menariklah.
Atau sifat dan tabiat sang istri yang tidak berkenan di hati.
Pikiran ini senantiasa menghantui hati sanubari sang
suami sehingga berdampak pada perubahan sikap terhadap isterinya. Jika tadinya
ia begitu menggebu-gebu mencintai isterinya maka kini berubah menjadi membencinya.
Jika dulu jargonnya adalah "makan tak makan yang penting kumpul,"
"siap tinggal di gubuk derita beratap langit beralaskan koran" atau
yang sejenisnya sebagai ungkapan keinginan untuk selalu bersama, seia sekata,
bagaimanapun kondisinya, maka sekarang berbeda.
Jangankan kondisi tak (ada) makanan, sudah disiapkan
oleh isteri makanan yang enak pun, terasa segan saja untuk menyentuhnya. Yang
sangat menyedihkan, di antara mereka ini ada pula yang sampai memperlakukan
isterinya dengan perlakuan yang kasar, "main tangan," tanpa sedikit
pun ada perasaan belas kasihan!
Suami semacam ini tentunya lupa pada firman Allah yang
menyebutkan: "Dan pergauilah isteri-isteri kalian dengan baik. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka,
(maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang
banyak." (QS. An-Nisaa 4:19). Begitupula sabda Nabi saw yang
menyatakan: "orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling
baik budi pekertinya, dan sebaik-baik
kalian adalah orang paling baik perlakuannya terhadap isterinya."
Jadi untuk menjadi manusia (atau suami) 'super'
sebenarnya tidaklah sulit. Selain imannya bener, pinter, dan badannya seger, ia
juga harus memperlakukan isterinya secara bener.
Dalam hadits lain, Nabi saw bersabda: "Janganlah
seorang mukmin (suami) membenci isterinya berlebihan. Jika dia tidak menyukai
sebagian sifat (tabiat, penampilan) isterinya, tapi dia menyukai sebagian sifat
(tabiat, penampilan) yang lain."
Hadits ini telah mengingatkan kita akan suatu hal yang
sangat urgen. Yaitu hendaknya para suami (termasuk juga isteri) sadar, bahwa kesempurnaan (al kamal) hanyalah milik
Allah semata. Karenanya, janganlah meminta kesempurnaan di jagat raya ini,
tetapi mintalah yang terbaik dari yang ada. Kemudian bercermin dan bertanyalah:
"Apakah diri kita bebas dari kekurangan baik dari segi fisik (jasadi)
maupun non fisik (ma'nawi)?"
Sesungguhnya kita semua pasti memiliki kekurangan. Dan
karena itu, jangan meminta orang lain untuk menjadi sempurna. Cukup sederhana
tampaknya. Hanya saja, sebagian suami seringkali memanfaatkan posisinya sebagai
"qawwam", kepala rumah tangga, untuk menempatkan isterinya sebagai
"terdakwa". Termasuk dalam hal ini adalah 'kelemahan-kelemahan' istri
yang dilihatnya tidak sempurna.
Tipe suami semacam ini bukan hanya sebuah cerita kosong
yang berlebih-lebihan tetapi memang nyata adanya dan dapat menimbulkan
kesengsaraan dalam kehidupan rumah tangga. Karena itulah, Ali bin Abi Thalib
mewanti-wanti para ayah untuk selalu mencarikan hanya lelaki shaleh sebagai
jodoh bagi anak perempuannya.
Ketika itu, seorang lelaki bertanya kepada Sayyidina
'Ali ra: "Saya mempunyai seorang putri, dengan siapa saya akan
menikahkannya?" Beliau menjawab: "Nikahkan dia dengan orang yang bertaqwa kepada Allah. Sebab, jika
dia mencintai (isteri)nya, dia akan memuliakannya. Tapi, jika dia membenci
(istri)nya, dia tidak akan menzhaliminya."
Sesungguhnya suami yang mengidam-idamkan isterinya bebas
dari berbagai kekurangan, di satu sisi dapat diibaratkan sebagai seorang zauj
mitsaaliy, suami teladan, karena keinginan itu menunjukkan betapa si suami
ingin isterinya sempurna. Tetapi pada saat yang bersamaan dia juga seorang
lelaki anaaniy, egois, karena mengharapkan kebahagiaan untuk dirinya sendiri
saja. Mengapa? Karena sudah jelas, tidak ada seorang pun anak cucu Nabi Adam di
dunia ini yang bebas dari 'aib dan kekurangan. Namun demikian, persoalan ini
tentu tidak dapat diartikan sebagai upaya meligitimasi dan mentolerir
kekurangan isteri yang terkait dengan sifat, akhlak ataupun penampilan yang
bisa jadi tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam.
Seorang suami tak dapat meng-acuh-tak-acuh-kan
kekurangan itu. Justru kita, para suamilah yang paling berkewajiban
mengubahnya. Tetapi semua usaha mengarahkan, mengajak dan mengubah kekurangan
istri ini tetap harus dilakukan dengan lembut dan lewat mu'amalah (perlakuan)
yang baik. Bukan dengan cara yang kasar dan emosional.
Apalagi perlakuam lemah-lembut, baik dan adil terhadap
isteri ini diajarkan langsung oleh Rasulullah dan disebutkan sebagai sebuah
kebaikan yang bermuara pada keridhoan Allah, seperti tampak pada dua hadits
berikut ini.
Mu'awiyah bin 'Ubaidah bercerita: saya bertanya kepada
Rasulullah saw: apa kewajiban suami terhadap isteri? Beliau saw menjawab:
"Dia wajib memberi makan isterinya
jika dia makan, dan memberinya pakaian jika
dia memakai pakaian. Dan janganlah
engkau memukul wajahnya, jangan
mencacimakinya, dan jangan menghajar
(meninggalkan)nya kecuali di dalam rumah." (HR. Abu Daud dan Ahmad).
Beliau saw juga bersabda: "Al Muqsithun di hari
kiamat berada pada mimbar-mimbar dari nur (cahaya) dan pada Tangan Kanan ar
Rahman (dan kedua Tangah Allah itu Kanan), yaitu orang-orang yang berbuat adil
di dalam memutuskan hukuman (perkara), adil terhadap isteri-isteri mereka, dan
adil terhadap tugas yang dibebankan kepadanya." (HR. Muslim).
Dalam praktek sehari-hari, para suami juga harus
menyadari bahwa perlakuan yang tidak baik akan sangat berdampak negatif pada
kinerja isteri di rumah. Padahal pada saat bersamaan, kita mengharapkan istri
dapat menjadi madrasah, tempat tarbiyah, pembelajaran, serta pengasahan
keshalehan dan intelektualitas anak-anak kita. Sebagaimana seorang penyair
telah berkata: Al Ummu Madrasatun Idzaa A'dadataha, A'dadta Sya'ban Thayiba'l
A'raaqi, yang berarti seorang Ibu (baca juga: isteri) adalah madrasah, apabila
kamu mempersiapkannya dengan baik maka kamu sama dengan mempersiapkan bangsa
yang unggul."
Untuk itu, mari kita coba mengikis habis keegoisan kita,
para suami, agar dapat menjadi suami yang adil dan bijaksana dengan menghayati
pernyataan seorang penyair: Wa Mandzalladzi Turdha Sajaayaahu Kulluhu, Kafaa'l
Mar'u Nublaan An Tu'addu Ma'aayibuhu. Artinya, "Mana ada orang yang
disenangi semua sifat-sifatnya (sempurna). Cukuplah seseorang itu mulia manakala
ia dapat dihitung (diketahui) kekurangan-kekurangannya."
Ahmad
Kusyairi Suhail, Lc.
(Kandidat
master di bidang Tafsir-Hadits di King Saud University Riyadh, Saudi Arabia)
0 komentar:
Post a Comment
monggo / silahkan beri komentarnya.