Fiqih Perempuan: Tak Butuh Rekonstruksi
Oleh: Ummu Azkiya
Ibu Rumah Tangga dan Alumni UNPAD
Entah sejak kapan kita selalu
mengaitkan bulan April dengan perbincangan di seputar perempuan. Kita
sepertinya sepakat bahwa bulan inilah saat yang tepat untuk memikirkan kembali
segala yang berhubungan dengan perempuan
--------------------------------------------------------------------------------
AlDakwah.com--Maka diskusi-diskusi
ilmiah pun diadakan, baik yang berskala kecil atau nasional. Tidak lupa segala
''upacara'' --yang dimaksudkan untuk menyambut Hari Kartini-- digeber, dari
mulai berbagai perlombaan sampai berkebayanya para penyiar perempuan di layar
TV tepat pada 21 April.
Materi diskusi yang sekarang sedang
menghangat adalah ide kesetaraan gender, yakni persamaan derajat laki-laki dan
perempuan dalam masyarakat, yang berhembus ke mana-mana sampai menyentuh bidang
agama (Islam). Menurut para pengusung ide ini perlu adanya rekonstruksi fiqih
perempuan yaitu ''revolusi penafsiran ulang ayat-ayat yang dianggap bias
gender'' (Prof Dr Said Agil Munawar, Republika, 1 April 2001), sehingga
perempuan mendapat keadilan yang sama dengan laki-laki. Mereka berpendapat
bahwa yang demikian itu merupakan suatu pembaruan dalam Islam, yang merupakan
upaya para pemikir (baca: ''pembaru'') untuk menciptakan keserasian antara
syariat Islam dengan pemikiran masyarakat.
Pendapat ini bukanlah hal yang baru,
bila kita lihat sudah begitu banyak orang yang mengklaim --atau diklaim--
sebagai pembaru dalam Islam, baik di Indonesia maupun di luar negeri. Cara
mereka dapat kita bagi tiga, yaitu:
1. Cara yang sangat halus, yang
menggunakan ayat-ayat Alquran dan Hadist sebagai dalil, serta masih menggunakan
cara serta istilah penafsiran dan penakwilan yang umum dikenal di kalangan para
mufassir.
2. Cara halus, ayat-ayat Alquran dan
Hadist digunakan sebagai dalil, tapi istilah baku dalam penafsiran telah diubah
sehingga timbul gaya penafsiran yang tidak pernah dikenal sebelumnya.
3. Cara lugas, sama sekali tidak
menggunakan ayat-ayat Alquran dan Hadist sebagai dalil, serta metode yang
ditawarkan adalah metode-metode ilmu sosial seperti sosiologi, historis, dan
lain-lain.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan,
bagaimana sebenarnya pandangan Islam tentang hal tersebut? Tulisan berikut semoga
dapat memberikan pemahaman tentang kebenaran yang disampaikan Islam.
Mengapa Fiqih Perempuan?
Para pengusul rekonstruksi fiqih
perempuan melihat sebagian ayat Alquran dan Hadist tidak menguntungkan pihak
perempuan. Dengan kata lain perempuan diperlakukan tidak adil, tidak setara
dengan laki-laki. Hal ini tentu saja bertentangan dengan ide kesetaraan gender
yang selalu mereka perjuangkan.
Bila hukum yang muncul dari syariat
Islam sama untuk laki-laki dan perempuan, mereka tidak akan mempermasalahkannya,
sehingga mereka tidak mengutak-atik hukum wajibnya perempuan sholat, puasa,
haji, dan sebagainya. Mereka merasa perlu segera mengkaji ulang syariat Islam,
tidak hanya terhadap hasil ijtihad, melainkan juga terhadap ayat-ayat muhkamat
dalam Alquran, yang sebenarnya tidak memerlukan penafsiran lain selain yang
termaksud dalam ayat.
Hal itu mereka lakukan karena mereka
berpendapat bahwa segala hal yang berkaitan dengan fiqih adalah hasil daya
pikir manusia, yang tentu saja kemampuan berpikir manusia terbatas, dan menurut
mereka manusia mutlak dipengaruhi oleh kondisi sekitarnya saat menentukan
sesuatu.
Contoh ayat-ayat yang menjadi favorit
mereka untuk dikaji ulang adalah yang berkaitan dengan haramnya perempuan
menjadi penguasa (hadist Abu Bakrah); kepemimpinan laki-laki terhadap perempuan
(QS An-Nisaa: 43); serta hukum waris yang menentukan bagian perempuan adalah
setengah dari laki-laki (QS An-Nisaa: 11-12).
Menurut mereka dalam tiga contoh
tersebut terdapat bias gender, yang terjadi karena para mufassir (ahli tafsir)
dan mujtahid kebanyakan adalah laki-laki, dan para mufassir serta mujtahid ini
dalam mengeluarkan hukum-hukum dipengaruhi oleh dalam-tidaknya ilmu yang
dimiliki serta situasi yang melingkupi mereka.
Pandangan Islam
Manusia adalah hamba Allah SWT yang
dituntut untuk beriman kepada-Nya dan kepada seluruh aturan yang telah
diturunkan-Nya, yang merupakan ''petunjuk'' dan ''rahmat'' yang akan membawa
manfaat bagi manusia dan mencegah manusia dari kerusakan, yang tentu saja akan
didapat bila sesuai dengan standar yang telah diberikan-Nya yaitu Alquran dan
As-Sunah (Al-Anbiyaa: 107, Yunus: 57, Al-An'Aam: 157).
Menurut Islam, perempuan dan laki-laki
sama karena keduanya adalah manusia, sehingga Islam mempersamakan hak dan
kewajiban serta pertanggungjawaban syara' bagi keduanya bila hak dan kewajiban
itu bersifat insaniyah, yaitu bila pertanggungjawabannya berhubungan dengan
manusia.
Oleh karena itulah laki-laki dan
perempuan memiliki kewajiban yang sama dalam ibadah seperti shalat, puasa, haji
dan zakat; atau kewajiban yang sama untuk berdakwah, menuntut ilmu, serta
ber-amar ma'ruf nahyi munkar. Laki-laki dan perempuan juga memiliki kedudukan
yang sama dalam muamalat seperti jual-beli, perkantoran, perwakilan, dan
sebagainya. Keduanya juga sama diseru untuk berakhlaq karimah, menghiasi diri
dengan sifat-sifat yang mulia. Tidak hanya itu, laki-laki dan perempuan juga
sama diancam hukuman dan sanksi atas pelanggaran mereka terhadap syariat Islam.
Hak dan kewajiban serta
pertanggungjawaban syara' laki-laki dan perempuan akan berbeda bila menyangkut
tabiat perempuan selaku perempuan, baik tentang kedudukan, fungsi atau
posisinya dalam masyarakat; atau tabiat laki-laki selaku laki-laki, baik
tentang kedudukan, fungsi atau posisinya dalam masyarakat, sehingga
penanganannya pun dikhususkan untuk setiap masing-masing jenis.
Maka akan terdapat perbedaan bagi
laki-laki dan perempuan dalam:
- kesaksian, bila terjadi kasus dalam
kelompok laki-laki atau masyarakat, maka kesaksian dua orang perempuan sama dengan
kesaksian seorang laki-laki. Tapi bila kasusnya terjadi dalam kelompok
perempuan, maka kesaksian seorang perempuan pun bisa diterima;
- hak waris, bagian perempuan adalah
setengah dari bagian laki-laki. Dalam keadaan tertentu bagian perempuan bisa sama
dengan bagian laki-laki;
- pakaian, pakain perempuan berbeda
dengan pakaian laki-laki. Masing-masing jenis dilarang menyerupai pakai lawan
jenisnya;
- mahar, mas kawin adalah hak perempuan
atas laki-laki, meskipun demikian dapat dimanfaatkan untuk keduanya;
- pekerjaan, mencari nafkah adalah
kewajiban laki-laki, sedangkan perempuan boleh (mubah) bekerja bila diizinkan
oleh suaminya atau ayahnya bila dia belum menikah, serta tidak melanggar
syariat Islam lainnya yang berkaitan dengan tabiatnya sebagai perempuan, yaitu
wajib menutup aurat dan berjilbab, berakhlak mulia, dan tidak ikhtilath
(bercampur baur laki-laki dan perempuan yang bukan mahrom).
Khatimah
Kehidupan manusia selalu berubah dan
berkembang, baik yang menyangkut sarana kehidupan (seperti sains dan
teknologi), maupun yang berkaitan dengan pemikiran (seperti nilai dan gaya
kehidupan). Islam pada dasarnya tidak menolak perubahan tersebut, hanya saja
perubahan yang terjadi haruslah yang menuju pada kebaikan, yakni yang sesuai
dengan ketentuan syara'. Ini berarti Islam menerima perubahan tersebut dengan
kendali yang telah ditetapkan Islam, yaitu aqidah Islam. Maka suatu perubahan
harus sesuai dengan syara', bukannya syara' yang harus disesuaikan dengan
perubahan.
Untuk mendapat jawaban yang sesuai
dengan Alquran dan As-Sunah dalam menyikapi perubahan, dibutuhkan para mufassir
dan mujtahid yang memiliki kesanggupan untuk berijtihad dalam berbagai masalah,
yang sekaligus ahli dalam berbagai teori ilmu pengetahuan dan memahami dengan
jernih situasi/fakta terbaru dalam masyarakat.
Oleh karena itu wajib bagi setiap
Muslim mempelajari fakta-fakta dalam masyarakat secara teliti, untuk kemudian
dipecahkan dengan syariat Islam. Fakta-fakta yang ada dalam masyarakat
seharusnya selalu terikat dengan perintah-perintah dan larangan-larangan Allah
SWT, sehingga dari sini terbukti kemampuan Islam dalam memecahkan seluruh
masalah manusia dalam setiap zaman dan di setiap tempat. Inilah yang telah
ditunjukkan oleh Islam selama kurang lebih 13 abad, sejak Rasulullah SAW
mendirikan negara Islam di Madinah sampai saat Khilafah Islam menjadi
satu-satunya kiblat dunia. Semua perkembangan dapat dijawab oleh Islam dengan
memuaskan.
Kini kita patut merenung kembali,
apakah ide rekonstruksi fiqih perempuan memang sesuai dengan syara' ataukah
hanya keinginan hawa nafsu belaka? Untuk itu mari kita renungkan hadist dan
ayat di bawah ini: ''Tidak sempurna iman seseorang sehingga ia menjadikan hawa
nafsunya mengikuti apa yang aku bawa.'' (Al-Hadist), dan ''Karena sesungguhnya
nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat
oleh Tuhanku.'' (QS Yusuf: 53).(hb)
0 komentar:
Post a Comment
monggo / silahkan beri komentarnya.