3/22/2013

Fiqih Perempuan: Tak Butuh Rekonstruksi


Fiqih Perempuan: Tak Butuh Rekonstruksi
Oleh: Ummu Azkiya
Ibu Rumah Tangga dan Alumni UNPAD

Entah sejak kapan kita selalu mengaitkan bulan April dengan perbincangan di seputar perempuan. Kita sepertinya sepakat bahwa bulan inilah saat yang tepat untuk memikirkan kembali segala yang berhubungan dengan perempuan


--------------------------------------------------------------------------------

AlDakwah.com--Maka diskusi-diskusi ilmiah pun diadakan, baik yang berskala kecil atau nasional. Tidak lupa segala ''upacara'' --yang dimaksudkan untuk menyambut Hari Kartini-- digeber, dari mulai berbagai perlombaan sampai berkebayanya para penyiar perempuan di layar TV tepat pada 21 April.

Materi diskusi yang sekarang sedang menghangat adalah ide kesetaraan gender, yakni persamaan derajat laki-laki dan perempuan dalam masyarakat, yang berhembus ke mana-mana sampai menyentuh bidang agama (Islam). Menurut para pengusung ide ini perlu adanya rekonstruksi fiqih perempuan yaitu ''revolusi penafsiran ulang ayat-ayat yang dianggap bias gender'' (Prof Dr Said Agil Munawar, Republika, 1 April 2001), sehingga perempuan mendapat keadilan yang sama dengan laki-laki. Mereka berpendapat bahwa yang demikian itu merupakan suatu pembaruan dalam Islam, yang merupakan upaya para pemikir (baca: ''pembaru'') untuk menciptakan keserasian antara syariat Islam dengan pemikiran masyarakat.

Pendapat ini bukanlah hal yang baru, bila kita lihat sudah begitu banyak orang yang mengklaim --atau diklaim-- sebagai pembaru dalam Islam, baik di Indonesia maupun di luar negeri. Cara mereka dapat kita bagi tiga, yaitu:

1. Cara yang sangat halus, yang menggunakan ayat-ayat Alquran dan Hadist sebagai dalil, serta masih menggunakan cara serta istilah penafsiran dan penakwilan yang umum dikenal di kalangan para mufassir.

2. Cara halus, ayat-ayat Alquran dan Hadist digunakan sebagai dalil, tapi istilah baku dalam penafsiran telah diubah sehingga timbul gaya penafsiran yang tidak pernah dikenal sebelumnya.

3. Cara lugas, sama sekali tidak menggunakan ayat-ayat Alquran dan Hadist sebagai dalil, serta metode yang ditawarkan adalah metode-metode ilmu sosial seperti sosiologi, historis, dan lain-lain.

Fenomena ini menimbulkan pertanyaan, bagaimana sebenarnya pandangan Islam tentang hal tersebut? Tulisan berikut semoga dapat memberikan pemahaman tentang kebenaran yang disampaikan Islam.

Mengapa Fiqih Perempuan?


Para pengusul rekonstruksi fiqih perempuan melihat sebagian ayat Alquran dan Hadist tidak menguntungkan pihak perempuan. Dengan kata lain perempuan diperlakukan tidak adil, tidak setara dengan laki-laki. Hal ini tentu saja bertentangan dengan ide kesetaraan gender yang selalu mereka perjuangkan.

Bila hukum yang muncul dari syariat Islam sama untuk laki-laki dan perempuan, mereka tidak akan mempermasalahkannya, sehingga mereka tidak mengutak-atik hukum wajibnya perempuan sholat, puasa, haji, dan sebagainya. Mereka merasa perlu segera mengkaji ulang syariat Islam, tidak hanya terhadap hasil ijtihad, melainkan juga terhadap ayat-ayat muhkamat dalam Alquran, yang sebenarnya tidak memerlukan penafsiran lain selain yang termaksud dalam ayat.

Hal itu mereka lakukan karena mereka berpendapat bahwa segala hal yang berkaitan dengan fiqih adalah hasil daya pikir manusia, yang tentu saja kemampuan berpikir manusia terbatas, dan menurut mereka manusia mutlak dipengaruhi oleh kondisi sekitarnya saat menentukan sesuatu.

Contoh ayat-ayat yang menjadi favorit mereka untuk dikaji ulang adalah yang berkaitan dengan haramnya perempuan menjadi penguasa (hadist Abu Bakrah); kepemimpinan laki-laki terhadap perempuan (QS An-Nisaa: 43); serta hukum waris yang menentukan bagian perempuan adalah setengah dari laki-laki (QS An-Nisaa: 11-12).

Menurut mereka dalam tiga contoh tersebut terdapat bias gender, yang terjadi karena para mufassir (ahli tafsir) dan mujtahid kebanyakan adalah laki-laki, dan para mufassir serta mujtahid ini dalam mengeluarkan hukum-hukum dipengaruhi oleh dalam-tidaknya ilmu yang dimiliki serta situasi yang melingkupi mereka.

Pandangan Islam


Manusia adalah hamba Allah SWT yang dituntut untuk beriman kepada-Nya dan kepada seluruh aturan yang telah diturunkan-Nya, yang merupakan ''petunjuk'' dan ''rahmat'' yang akan membawa manfaat bagi manusia dan mencegah manusia dari kerusakan, yang tentu saja akan didapat bila sesuai dengan standar yang telah diberikan-Nya yaitu Alquran dan As-Sunah (Al-Anbiyaa: 107, Yunus: 57, Al-An'Aam: 157).

Menurut Islam, perempuan dan laki-laki sama karena keduanya adalah manusia, sehingga Islam mempersamakan hak dan kewajiban serta pertanggungjawaban syara' bagi keduanya bila hak dan kewajiban itu bersifat insaniyah, yaitu bila pertanggungjawabannya berhubungan dengan manusia.

Oleh karena itulah laki-laki dan perempuan memiliki kewajiban yang sama dalam ibadah seperti shalat, puasa, haji dan zakat; atau kewajiban yang sama untuk berdakwah, menuntut ilmu, serta ber-amar ma'ruf nahyi munkar. Laki-laki dan perempuan juga memiliki kedudukan yang sama dalam muamalat seperti jual-beli, perkantoran, perwakilan, dan sebagainya. Keduanya juga sama diseru untuk berakhlaq karimah, menghiasi diri dengan sifat-sifat yang mulia. Tidak hanya itu, laki-laki dan perempuan juga sama diancam hukuman dan sanksi atas pelanggaran mereka terhadap syariat Islam.

Hak dan kewajiban serta pertanggungjawaban syara' laki-laki dan perempuan akan berbeda bila menyangkut tabiat perempuan selaku perempuan, baik tentang kedudukan, fungsi atau posisinya dalam masyarakat; atau tabiat laki-laki selaku laki-laki, baik tentang kedudukan, fungsi atau posisinya dalam masyarakat, sehingga penanganannya pun dikhususkan untuk setiap masing-masing jenis.

Maka akan terdapat perbedaan bagi laki-laki dan perempuan dalam:

- kesaksian, bila terjadi kasus dalam kelompok laki-laki atau masyarakat, maka kesaksian dua orang perempuan sama dengan kesaksian seorang laki-laki. Tapi bila kasusnya terjadi dalam kelompok perempuan, maka kesaksian seorang perempuan pun bisa diterima;

- hak waris, bagian perempuan adalah setengah dari bagian laki-laki. Dalam keadaan tertentu bagian perempuan bisa sama dengan bagian laki-laki;

- pakaian, pakain perempuan berbeda dengan pakaian laki-laki. Masing-masing jenis dilarang menyerupai pakai lawan jenisnya;

- mahar, mas kawin adalah hak perempuan atas laki-laki, meskipun demikian dapat dimanfaatkan untuk keduanya;

- pekerjaan, mencari nafkah adalah kewajiban laki-laki, sedangkan perempuan boleh (mubah) bekerja bila diizinkan oleh suaminya atau ayahnya bila dia belum menikah, serta tidak melanggar syariat Islam lainnya yang berkaitan dengan tabiatnya sebagai perempuan, yaitu wajib menutup aurat dan berjilbab, berakhlak mulia, dan tidak ikhtilath (bercampur baur laki-laki dan perempuan yang bukan mahrom).

Khatimah


Kehidupan manusia selalu berubah dan berkembang, baik yang menyangkut sarana kehidupan (seperti sains dan teknologi), maupun yang berkaitan dengan pemikiran (seperti nilai dan gaya kehidupan). Islam pada dasarnya tidak menolak perubahan tersebut, hanya saja perubahan yang terjadi haruslah yang menuju pada kebaikan, yakni yang sesuai dengan ketentuan syara'. Ini berarti Islam menerima perubahan tersebut dengan kendali yang telah ditetapkan Islam, yaitu aqidah Islam. Maka suatu perubahan harus sesuai dengan syara', bukannya syara' yang harus disesuaikan dengan perubahan.

Untuk mendapat jawaban yang sesuai dengan Alquran dan As-Sunah dalam menyikapi perubahan, dibutuhkan para mufassir dan mujtahid yang memiliki kesanggupan untuk berijtihad dalam berbagai masalah, yang sekaligus ahli dalam berbagai teori ilmu pengetahuan dan memahami dengan jernih situasi/fakta terbaru dalam masyarakat.

Oleh karena itu wajib bagi setiap Muslim mempelajari fakta-fakta dalam masyarakat secara teliti, untuk kemudian dipecahkan dengan syariat Islam. Fakta-fakta yang ada dalam masyarakat seharusnya selalu terikat dengan perintah-perintah dan larangan-larangan Allah SWT, sehingga dari sini terbukti kemampuan Islam dalam memecahkan seluruh masalah manusia dalam setiap zaman dan di setiap tempat. Inilah yang telah ditunjukkan oleh Islam selama kurang lebih 13 abad, sejak Rasulullah SAW mendirikan negara Islam di Madinah sampai saat Khilafah Islam menjadi satu-satunya kiblat dunia. Semua perkembangan dapat dijawab oleh Islam dengan memuaskan.

Kini kita patut merenung kembali, apakah ide rekonstruksi fiqih perempuan memang sesuai dengan syara' ataukah hanya keinginan hawa nafsu belaka? Untuk itu mari kita renungkan hadist dan ayat di bawah ini: ''Tidak sempurna iman seseorang sehingga ia menjadikan hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa.'' (Al-Hadist), dan ''Karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku.'' (QS Yusuf: 53).(hb) 

0 komentar:

Post a Comment

monggo / silahkan beri komentarnya.