Antara Televisi,
Anak, dan Keluarga
(Sebuah Analisis)
Oleh: Oos M. Anwas
Oleh: Oos M. Anwas
Abstrak
Kecenderungan meningkatnya
tindak kekerasan dan perilaku negatif lainnya pada anak diduga sebagai dampak
gencarnya tayangan televisi. Karena media ini memiliki potensi besar dalam
merubah sikap dan perilaku masyarakat terutama anak-anak yang relatif masih
mudah terpengaruh dan dipengaruhi. Hasil penelitian para ahli menunjukan bahwa
tayangan televisi bisa mempengaruhi perilaku anak dan juga sebaliknya tidak
berpengaruh apa-apa. Pengaruh ini justru lebih dominan dipengaruhi oleh
keharmonisan keluarga. Anak dari keluarga harmonis lebih memiliki
benteng/penangkal dalam menyikapi tayangan televisi. Oleh karena itu penangkal
yang paling ampuh terhadap dampak negatif tayangan televisi adalah menciptakan
keluarga yang harmonis, keluarga yang berusaha menanamkan norma luhur dan nilai
agama dalam kehidupan sehari-harinya. Begitu pula stasiun televisi mempunyai
tanggung jawab mendidik masyarakat dan anak bangsa melalui pemilihan acara yang
tepat.
Pendahuluan
Mungkin kita masih ingat
sebuah SMU di Colorado Amerika Serikat dibanjiri darah 25 siswanya. Mereka
tewas dibantai dua siswa yang berulah seperti Rambo. Dengan wajah dingin tanpa
balas kasihan, mereka memberondong temannya sendiri dengan timah panas.
Kejadian ini sungguh menggem-parkan dan banyak pakar yang menuding tayangan
kekerasan di televisi atau komputer (game dan internet) sebagai biangkerok
tindak kekerasan yang terjadi di kalangan anak.
Tudingan terhadap media
massa terutama televisi sebagai biang keladi tindak kekerasan dan perilaku
negatif lainnya pada pada anak-anak sebenarnya sudah terjadi sejak lama.
Sekitar satu dekade yang lalu, musik rock disalahkan sebagai penyebab kasus
pembunuhan di kalangan remaja. Begitupun film kartun berjudul Beavis dan
Butthead dituding sebagai penyebab memban-jirnya kasus pembakaran rumah di mana
pelakunya adalah anak-anak muda.
Di sekitar kita, rasanya
sering kita melihat anak yang baru saja nonton film cowboy di layar televisi,
lalu berlari ke halaman rumah kemudian berguling-guling dan berteriak "dor
dor.. dor... sambil memegang pistol mainan atau apa saja yang di pegangnya.
Sering pula kita mendengar ucapan-ucapan yang kurang pas dilontarkan mereka
menirukan idolanya di TV. Begitu pula bagaimana anak-anak meniru berbagai
adegan sadis, sensual, dan erotik yang setiap saat dapat disaksikan melalui
layar TV. Tokoh-tokoh film anak, seperti Superman, Dora Emon, Satria Baja
Hitam, Power Ranger, dan tokoh lainnya sungguh melekat dalam kehidupan mereka.
Bahkan kondisi seperti ini dimanfaatkan betul oleh para pedagang. Mereka
membuat busana anak yang mirip dengan para tokoh tersebut, dan hasilnya sangat
digemari anak-anak.
Kecenderungan lain adalah
anak-anak dan para remaja merasa bergengsi bila makan makanan yang sering
muncul di layar TV. Makanan fast food seperti fried chichen, pizza, hamburger,
dan jenis makanan lainnya yang di negara asalnya merupakan makanan biasa
menjadi makanan luar biasa (bergengsi). Anak-anak mulai tahu bahkan paham betul
merek-merek dagang terkenal dan lux, termasuk merk mobil yang mungkin mustahil
terjangkau oleh kocek orang tuanya. Lebih mengkha-watirkan lagi mereka lebih
suka nongkrong di depan TV, diban-dingkan belajar, membaca, atau mengerjakan
pekerjaan rumah dari gurunya.
Memang televisi semakin
dekat dengan anak. Banyaknya pilihan acara yang disuguhkan dari berbagai
stasiun televisi, membuat anak semakin senang nongkrong di depan layar
televisi. Pihak stasiun televisi tidak sedikit menyediakan acara-acara khusus
untuk dikonsumsi anak-anak. Simak saja acara-acara Sabtu dan Minggu pagi hampir
semua stasiun TV menyajikan program anak-anak. Apalagi kini komunikasi antara
orang tua dan anak cenderung berkurang sebagai konsekuensi kesibukan para orang
tua pada pekerjaaanya serta makin hilangnya budaya dongeng orang tua saat
pengantar tidur. Pendek kata, televisi sudah merupakan teman akrab mereka yang
setiap saat mereka bisa menyaksikannya. Tulisan ini akan mencoba menganalisis
bagaimana potensi media televisi dan dampaknya terhadap perilaku anak serta
konstribusi faktor keluarga dalam menagkal gencarnya siaran televisi tersebut.
Potensi Media Televisi
Mengapa televisi diduga
bisa menyulap sikap dan perilaku masyarakat, terutama pada anak-anak. Menurut
Skomis, dibanding-kan dengan media massa lainnya (radio, surat kabar, majalah,
buku, dan lain sebagainya), televisi tampaknya mempunyai sifat istimewa.
Televisi merupakan gabungan dari media dengar dan gambar hidup (gerak/live)
yang bisa bersifat politis, bisa, informatif, hiburan, pendidikan, atau bahkan
gabungan dari ketiga unsur tersebut. Ekspresi korban kerusuhan di Ambon
misalnya, hanya terungkap dengan baik lewat siaran televisi, tidak lewat koran
ataupun majalah. Ratapan orang kelaparan di Ethiophia, gemuruhnya tepuk tangan
penonton sepak bola di lapangan hijau, hiruk pikuknya suasana kampanye di
bunderan Hotel Indonesia, tampak hidup di layar televisi.
Sebagai media informasi,
televisi memiliki kekuatan yang ampuh (powerful) untuk menyampaikan pesan.
Karena media ini dapat menghadirkan pengalaman yang seolah-olah dialami sendiri
dengan jangkauan yang luas (broadcast) dalam waktu yang bersamaan. Penyampaian
isi pesan seolah-olah langsung antara komunikator dan komunikan. Melalui
stasiun televisi, kerusuhan di Ambon dapat diterima di Banda Aceh dan di
Jayapura dalam waktu bersamaan. Begitu pula acara pertandingan AC Milan melawan
Juventus di Italia dapat langsung dinikmati pemirsa RCTI di Indonesia. Sungguh
luar biasa, infomasi/kejadian di belahan bumi sana bisa diterima langsung di
rumah. Televisi bisa menciptakan suasana tertentu, yaitu para penonton dapat
melihat sambul duduk santai tanpa kesengajaan untuk menyaksi-kannya Memang
televisi akrab dengan suasana rumah dan kegiatan penonton sehari-hari.
Dari segi penontonnya,
sangat beragam. Mulai anak-anak sampai orang tua, pejabat tinggi sampai
petani/nelayan yang ada di desa bisa menyaksikan acara-acara yang sama melalui
tabung ajaib itu. Melalui beberapa stasiun mereka juga bebas memilih
acara-acara yang disukai dan dibutuhkannya. Begitu pula sebagai media hiburan,
televisi dianggap sebagai media yang ringan, murah, santai, dan segala sesuatu
yang mungkin bisa menyenangkan.
Televisi dapat pula
berfungsi sebagai media pendidikan. Pesan-pesan edukatif baik dalam aspek
kognetif, apektif, ataupun psiko-motor bisa dikemas dalam bentuk program
televisi. Secara lebih khusus televisi dapat dirancang/dimanfaat-kan sebagai
media pembelajaran. Pesan-pesan instruksional, seperti percobaan di
laboratorium dapat diperlihatkan melalui tayangan televisi. Televisi juga dapat
menghadirkan objek-objek yang berbahaya seperti reaksi nuklir, objek yang jauh,
objek yang kecil seperti amuba, dan objek yang besar secara nyata ke dalam
kelas. Keuntungan lain, televisi bisa memberikan penekanan terhadap pesan-pesan
khusus pada peserta didik, misalnya melalui teknik close up, penggunaan
grafis/animasi, sudut pengambilan gambar, teknik editing, serta trik-trik
lainnya yang menimbulkan kesan tertentu pada sasaran sesuai dengan tujuan yang
dikehendaki.
Memang kekuatan televisi
menurut Kathleen Hall Jamieson sebagai dramatisasi dan sensa-sionalisasi isi
pesan. Begitu pula menurut pakar komunikasi Jalaluddin Rakhmat (1991), gambaran
dunia dalam televisi sebetulnya gambaran dunia yang sudah diolah. Dalam hal ini
Jalaludin Rakhmat menyebutnya sebagai Tangan-tangan Usil. Tangan pertama yang
usil adalah kamera (camera), gerak (motions), ambilan (shots), dan sudut kamera
(angles) menentukan kesan pada diri pemirsa.
Tangan kedua adalah proses
penyuntingan. Dua gambar atau lebih dapat dipadukan untuk menimbulkan kesan
yang dikehen-daki. Sinetron Jin dan Jun di RCTI misalnya, seolah-olah mereka
bisa masuk ke dalam tembok, berjalan di angkasa, berlari-lari di atas air, atau
bisa menghilang. Adegan memeng-gal kepala orang, bertarung di angkasa dan
bentuk adegan lainnya yang tidak lazim dilakukan dalam kehidupan, merupakan
hasil ulah editor dalam proses penyuntingan.
Tangan ketiga adalah ketika
gambar muncul dalam layat televisi kita. Layar televisi mengubah persepsi kita
tentang ruang dan waktu. Televisi juga bisa meng-akrabkan objek yang jauh
dengan penonton. Seorang penonton sepak bola di rumahnya berteriak kegi-rangan
ketiga Ronaldo (Inter Milan) memasukan bola ke gawang Juventus. Memang televisi
bisa menjadikan komunikasi inter-personal antara penonton dengan objek yang
ditonton. Perasaan gembira, sedih, simpatik, bahkan cinta bisa terjalin tanpa
terhalang oleh letak geografis nan jauh di sana. Tangan keempat adalah perilaku
para penyair televisi. Mereka dapat menggaris-bawahi berita, memberi-kan makna
yang lain, atau sebaliknya meremehkannya.. Mereka mempu-nyai posisi stategis
dalam menyam-paikan pesan pada khalayak.
Besarnya potensi media
televisi terhadap perubahan masyarakat menimbulkan pro dan kotra. Pandangan pro
melihat televisi merupakan wahana pendidikan dan sosialisasi nilai-nilai
positif masyatrakat. Sebaliknya pandangan kontra melihat televisi sebagai
ancaman yang dapat merusak moral dan perilaku desktruktif lainnya. Secara umum
kontraversial tersebut dapat digolongkan dalam tiga katagori, yaitu pertama,
tayangan televisi dapat mengancam tatanan nilai masyarakat yang telah ada,
kedua televisi dapat menguatkan tatanan nilai yang telah ada, dan ketiga
televisi dapat membentuk tatanan nilai baru masyarakat termasuk lingkungan
anak.
Acara Anak dan Film Kartun
Sebagai media massa,
tayangan televisi memungkinkan bisa ditonton anak-anak termasuk acara-acara
yang ditujukan untuk orang dewasa. Saat ini setiap stasiun televisi telah
menyajikan acara-acara khusus untuk anak. Walaupun acara khusus anak tersebut
masih sangat minim. Hasil penelitian yang dilakukan Yayasan Kesejahteraan Anak
Indonesia (YLKI) (Mulkan Sasmita, 1997), persentase acara televisi yang secara
khusus ditujukan bagi anak-anak relatif kecil, hanya sekitar 2,7 s.d. 4,5% dari
total tayangan yang ada. Yang lebih menghawatirkan lagi ternyata persentase
kecil inipun materinya sangat menghawatirkan bagi perkembangan anak-anak.
Tayangan televisi untuk
anak-anak tidak bisa dipisahkan dengan film kartun. Karena jenis film ini
sangat populer di lingkungan mereka, bahkan tidak sedikit orang dewasa yang
menyukai film ini. Jika kita perhatikan, film kartun masih didominasi oleh
produk film import. Tokoh seperti Batman, Superman, Popeye, Mighty Mouse, Tom
and Jerry, atau Woody Woodpecker begitu akrab di kalangan anak-anak. Begitu
pula film kartun Jepang, seperti Dora Emon, Candy Candy, Sailoor Moon, Dragon
Ball, dst. sangat populer dan bahkan mendominasi tayangan stasiun televisi
kita. Sayangnya dibalik keakraban tersebut, tersembunyi adanya ancaman.
Jika kita perhatikan dalam
film kartun yang bertemakan kepahla-wanan misalnya, pemecahan masalah tokohnya
cenderung dilakukan dengan cepat dan mudah melalui tindakan kekerasan.
Cara-cara seperti ini relatif sama dilakukan oleh musuhnya (tokoh antagonis).
Ini berarti tersirat pesan bahwa kekerasan harus dibalas dengan kekerasan,
begitu pula kelicikan dan kejahatan lainnya perlu dilawan melalui cara-cara
yang sama.
Sri Andayani (1997)
melakukan penelitian terhadap beberapa film kartun Jepang, seperti Sailor Moon,
Dragon Ball, dan Magic Knight Ray Earth. Ia menemukan bahwa film tersebut
banyak mengandung adegan antisosial (58,4%) daripada adegan prososial 41,6%).
Hal ini sungguh ironis, karena film tersebut bertemakan kepahlawanan. Studi ini
menemukan bahwa katagori perlakuan antisosial yang paling sering muncul
berturut-turut adalah berkata kasar (38,56%), mence-lakakan 28,46%), dan
pengejekan (11,44%). Sementara itu katagori prososial, perilaku yang kerapkali
muncul adalah kehangatan (17,16%), kesopanan (16,05%), empati (13,43%), dan
nasihat 13,06%).
Temuan ini sejalan dengan
temuan YLKI, yang juga mencatat bahwa film kartun bertemakan kepahlawanan lebih
banyak menam-pilkan adegan anti sosial (63,51%) dari pada adegan pro sosial
(36,49%). Begitu pula tayangan film lainnya khususnya film import membawa
muatan negatif, misalnya film kartu Batman dan Superman menurut hasil
penelitian Stein dan Friedrich di AS menunjukan bahwa anak-anak menjadi lebih agresif
yang dapat dikatagorikan anti sosial setelah mereka menonton film kartun
seperti Batman dan Superman.
Perbedaan budaya, ideologi,
dan agama negara produsen film dengan negara kita jelas akan mewarnai terhadap
subtasi film tersebut. Karena film dimanapun tidak sekedar tontonan belaka, ia
dapat membawa ideologi, nilai, dan budaya masyarakatnya. Misalnya, mungkin
Satria Baja Hitam atau Power Ranger mempunyai andil besar atas terbentuknya
sikap keberanian dan anti kezaliman. Tetapi keberanian yang dibutuhkan rakyat
Indonesia dan anak Jepang jelas berbeda, paling tidak dalam kehidupan
sehari-harinya. Dalam keseharian masyarakat kita mensyaratkan keberanian ‘apa
adanya’ tanpa tersembunyi dibalik kecanggihan teknologi. Sehingga diharapkan
akan tertanam sikap berani dalam berkreasi sesuai dengan lingkungan di
sekitarnya. Sebaliknya keberanian di Jepang dalam lingkungan masyarakatnya
sudah ditunjang dengan teknologi yang canggih. Kondisi ini apabila dipandang
sama, dihkawatirkan akan melahirkan generasi yang cengeng dan mudah menyerah.
Begitu pula aspek-aspek lain masih banyak yang kurang sesuai dengan kondisi
sosial budaya dan alam Indonesia. Program anak-anak memang diharapkan dapat
menanamkan nilai, norma, krativitas, dan kecerdasan yang ‘membumi’ atau sesuai
dengan lingkungan disekitarnya. Hal ini pada akhirnya diharapkan dapat
membentuk sikap dan perilaku yang sesuai dengan jati diri dan budaya bangsa
Indonesia, sehingga mereka menjadi bangga sebagai warga negara Indonesia.
Dampak Tayangan Televisi pada Anak
Gencarnya tayangan televisi
yang dapat dikonsumsi oleh anak-anak membuat khawatir masyarakat terutama para
orang tua. Karena manusia adalah mahluk peniru dan imitatif. Perilaku imitatif
ini sangat menonjol pada anak-anak dan remaja. Kekhawatiran orang tua juga
disebabkan oleh kemampuan berpikir anak masih relatif seder-hana. Mereka
cenderung mengang-gap apa yang ditampilkan televisi sesuai dengan yang
sebenarnya. Mereka masih sulit membedakan mana perilaku/tayangan yang fiktif
dan mana yang memang kisah nyata. Mereka juga masih sulit memilah-milah
perilaku yang baik sesuai dengan nilai dan norma agama dan kepribadian bangsa.
Adegan kekerasan, kejahatan, konsumtif, termasuk perilaku seksual di layar
televisi diduga kuat berpengaruh terhadap pembentukan perilaku anak.
Para ahli psikologi
menegaskan bahwa perilaku manusia pada hakekatnya merupakan proses interaksi
individu dengan lingkungannya sebagai manifestasi bahwa ia mahluk hidup. Sikap
dan pola perilaku itu menurut pandangan behavioristik dapat dibentuk melalui
proses pembiasaan dan pengukuhan lingkungan.. Bertolak dari pandangan ini,
pembiasan dan pengukuhan lingkungan anak dapat dibentuk melalui tayangan
televisi yang sesuai dengan nilai, norma, dan kerpribadian bangsa. Karena saat
ini tayangan televisi setiap saat bisa ditonton anak-anak.
Masalahnya adalah
sejauhmana dampak tayangan televisi tersebut berpengaruh terhadap terhadap
perilaku masyarakat khususnya anak-anak. Untuk membuktikan kebenaran ini memang
relatif sulit, karena perilaku anak (remaja) anak sangatlah komplek dan
dipengaruhi oleh banyak faktor. Hasil studi yang dilakukan di Amerika Serikat
tahun 1972 dikeluarkan laporan berjudul Television and Growing Up; The Impact
of Televised Violence (dalam Dedi Supriadi, 1997) menunjukan gambaran bahwa
korelasi antara tayangan tindakan kekerasan di televisi dengan perilaku agresif
pemirsa yang umumnya anak muda ditemukan taraf signifikansinya hanya 0,20
sampai 0,30. Tingkat signifikansi sangat rendah ini tidak cukup menjadi dasar
untuk menarik kesimpulan yang meyakinkan mengenai adanya hubungan lang-sung
antara keduanya. Ini berarti tayangan tindakan kekerasan bisa saja berpengaruh
terhadap sebagian penonton dan dapat juga netral atau tidak mempunyai pengaruh
sekalipun.
Faktor Keluarga
Sebagian besar anak hidup
di lingkungan keluarga. Pendidikan di keluarga akan memberi landasan bagi
kehidupan di masa mendatang. Oleh karena itu perilaku anak sangat dominan
dipengaruhi oleh ling-kungan keluarganya (Oos M. Anwas, 1998). Beberapa pakar
psikologi mengatakan bahwa apa yang dialami anak di masa kecil, akan membekas
dalam diri anak dan mewarnai kehidupannya kelak. Barangkali munculnya berbagai
masalah remaja, seperti perkelahian, tawuran narkotika, dan premanisme lainnya
bisa saja disebabkan kurang harmonisnya lingkungan keluarga saat ini yang
cenderung meng-khawatirkan.
Yang lebih menarik adalah
hasil studi pakar psikiatri Universitas Harvard, Robert Coles (dalam Dedi
Supriadi, 1997). Temuannya menun-jukan bahwa pengaruh negatif tayangan
televisi, justru terdapat pada keharmonisan di keluarga. Dalam temuannya,
anak-anak yang mutu kehidupannya rendah sangat rawan terhadap pengaruh buruk
televisi. Sebaliknya keluarga yang memegang teguh nilai, etika, dan moral serta
orang tua benar-benar menjadi panutan anaknya tidak rawan terhadap pengaruh
tayangan negatif televisi. Lebih lanjut Cole menunjukan bahwa memperma-salahkan
kualitas tayangan televisi tidak cukup tanpa mempertim-bangkan kualitas
kehidupan keluarga. Ini berarti menciptakan keluarga yang harmonis jauh lebih
penting ketimbang menuduh tayangan televisi sebagai biangkerok meningkatnya
perilaku negatif di kalangan anak dan remaja.
Mungkin kita akan lebih
yakin terhadap temuan Coles apabila mengkaji bagaimana proses pembentukan
perilaku manusia. Pembentukan perilaku didasarkan pada stimulus yang diterima
melalui pancaindra yang kemudian diberi arti dan makna berdasarkan pengetahuan,
pengalaman, dan keyakinan yang dimilikinya. Anak, sebagai individu yang masih
labil dan mencari jati diri, sangat rentang dengan perilaku peniruan yang
akhirnya akan terinternalisasi dan membentuk pada kepribadiannya. Tayangan
televisi yang dilihatnya setiap saat masuk ke dalam otaknya. Bagi anak yang
berasal dari mutu kehidupan keluarganya baik, semua yang ia lihat di layar
televisi dapat disaring melalui suasana keluarga yang harmonis, dimana orang
tuanya bisa menjadi panutan. Komunikasi dan contoh orang tua dalam perilaku
sehari-hari membuat benteng yang kokoh dalam membendung semua pengaruh buruk di
layar televisi. Sebaliknya, anak yang berasal dari keluarga yang mutu kehidupan
keluarganya rendah, semua tayangan di televisi sulit disaring, karena mereka
belum bisa membedakan mana perilaku yang baik/buruk. Begitu pula dalam
lingkungan keseharian di keluarganya tidak ditemukan sikap dan perilaku
normatif yang dapat dijadikan filter tayangan televisi.
Idealnya, para orang tua
selalu menjadi pendamping anak dalam menonton televisi. Acara-acara mana yang
pantas ditonton mereka. Begitu pula mereka diberikan penjelasan mengenai
adegan/peristiwa dalam film termasuk adegan fiktif. Namun masalahnya, apakah
sanggup para orang tua mendapinggi putra putrinya nonton TV. Kini si keci
dimungkinkan nonton TV setiap saat dengan berbagai acara termasuk film adegan
kekerasan/sadisme. Semen-tara itu para orang tua sibuk dengan tugas pekerjaan
sehari-harinya. Oleh karena itu benteng yang paling kuat adalah bagaimana
menciptakan keluarga yang harmonis. Komun-ikasi orang tua dan anak dituntut
lancar dan berkualitas. Nilai, norma, dan ajaran agama dijadikan landasan hidup
dalam keluarga. Kondisi seperti ini akan menjadi benteng yang kokoh bagi anak
dalam menyaring gencarnya tayangan televisi.
Catatan Akhir
Media televisi dapat
menyajikan pesan/objek yang sebenarnya termasuk hasil dramatisir secara audio
visual dan unsur gerak (live) dalam waktu bersamaan (broadcast). Pesan yang
dihasilkan televisi dapat menyerupai benda/objek yang sebenarnya atau
menimbulkan kesan lain. Oleh karena itu media ini memiliki potensi besar dalam
merubah sikap dan perilaku masyarakat. Sementara itu persaingan di antara
stasiun televisi semakin ketat. Mereka bersaing menyajikan acara-acara yang
digemari penonton, bahkan tanpa memerhatikan dampak negatif dari tayangan
tersebut. Penonton televisi sangatlah beragam. Di sana terdapat anak-anak dan
remaja yang relatif masih mudah terpengaruh dan dipengaruhi.
Gencarnya tayangan televisi
yang berbau kekerasan, konsumtif, sadisme, erotik, bahkan sensual menimbulkan
kekhawatiran para orang tua. Kondisi seperti ini sangatlah wajar, karena kini
anak-anak mereka bisa menyaksikan acara televisi setiap saat. Tindak kekerasan
dan perilaku negatif lainnya yang kini cenderung meningkat pada anak/remaja
langsung menuding televisi sebagai biang keroknya. Tidak sedikit para orang tua
mencacimaki/ protes terhadap tayangan televisi yang dirasakan kurang pas.
Sementara itu para orang tua terus sibuk dengan pekerjaannya masing-masing.
Mungkin kita (para orang tua) perlu merenungi temuan Coles, bahwa jauh lebih
penting mencip-takan keluarga yang harmonis dibandingkan menyalahkan tayang-an
televisi, karena faktor keharmo-nisan keluarga bisa menangkal pengaruh negatif
televisi. Di sini jelas perlu adanya keseimbangan antara keluarga (orang tua)
dan pihak stasiun televisi. Keluarga dituntut untuk menciptakan keharmonisan
keluarga. Menjaga komunikasi dan menanamkan nilai serta norma agama pada anak.
Begitupun para pengelola stasiun televisi hendaknya mempunyai tanggungjawab
moral terhadap acara-acara yang ditayangkannya. Mereka hendaknya tidak sekedar
mencari untung (kue iklan) terhadap acara yang ditayangkannya. Stasiun televisi
merupakan bagian integral dari sistem pendidikan nasional. Mereka mempunyai
tanggungjawab untuk menjaga dan sekaligus mening-katkan nilai dan norma-norma
yang ada di masyarakat, termasuk mendidik anak-anak.
Daftar PustakaAbu Ahmadi, (1991), Psikologi Sosial, Jakarta: Rineka Cipta.
Abin Syamsudin Makmun, (1990), Pedoman Studi: Psikologi Kependidikan, IKIP Bandung.
Dedi Supriadi, (1997), Kontraversial tentang Dampak Kekerasan Siaran Televisi terhadap Perilaku pemirsanya; Bercinta dengan Televisi, Bandung: Remaja Rosda Karya.
Gene L. Wilkonson, (1980), Media dalam Pembelajaran: Penelitian Selama 60 tahun, Jakarta: Rajawali.
Jalaludi Rakhmat, (1991), Islam Aktual; Refleksi Sosial Seorang Cendikiawan Muslim, Bandung: Mizan.
——————————, (1985), Psikologi Komunikasi, Bandung: Remaja Karya.
Oos M. Anwas, (1998), Kaum Ibu adalah Pendidik Utama, Artikel: HU: Suara Karya Jakarta, 4 Mei 1998.
Sri Andayani dan Hanif Suranto, (1997), Perilaku Antisosial di Layar Kaca; Bercinta dengan Televisi, Bandung: Remaja Rosda Karya.
Wawan Kuswandi, (1996), Komuni-kasi Massa: Sebuah Analisi Media Televisi, Jakarta: Rineka Cipta.
0 komentar:
Post a Comment
monggo / silahkan beri komentarnya.